NGATIR
Karya: Nunu Fauzan Helwah
Hari ini begitu naas bagiku. Seharian menjual arang, tetapi hasilnya nihil. Tidak ada pembeli seorangpun.
Senja mulai menggeser mentari siang. Aku memutuskan untuk pulang. Badan terasa lemas. Dengan langkah gantai, tak henti-hentinya aku meremas-remas jemariku yang kosong. Pikiranku hampa. Langkahku berat, berat sekali.
Sesampainya di rumah, aku segera menyimpan arang daganganku di tempat biasa, di samping rumah.
"Assalamu'alaikum."
"Walaikum salam," jawab adikku, Arbi dari dalam rumah. "Eh, Teteh sudah pulang."
Aku hanya mengangguk, kemudian masuk ke kamarku yang hanya berpintukan gorden yang terbuat dari kaen samping yang sudah lusuh.
Dari kejauhan terdengan adzan Magrib, "Alhamdulillah." Gumamku sambil mengambil air minum.
"Teteh, sudah buka belum?"
"Belum. Baru juga adzan. Kamu sudah belum?"
"Sudah. Ini Teteh mau?" kata Arbi sambil memberikan dua buah pisang muli.
"Dari mana kamu dapat pisang?"
"Dari Reka."
"Oh, sini satu. Satu lagi buat kamu," kataku sambil mengambil pisang satu, kemudian ku kupas dan ku makan sebagai pembuka puasa sunat Senin.
Malam terus merayap. Sehabis salat Isa, aku tak kuat lagi menahan kantuk, akhirnya aku tidur nyenyak sekali walau hanya beralaskan samak diatas dipan.
Tidak seperti biasanya, hari ini, aku terlambat bangun. Kulihat Arbi sedang menyalakan api tungku yang hampir padam. Tangan kanannya memegang hihid (kipas dari anyaman bambu), dan tangan kiriya memegang songsong bambu (bambu satu buku untuk menghidupkan api).
"Sudah masak air belum, Bi?"
"Belum. Airnya juga habis."
"Itu, masak apa?"
"Nasi, ngaliwet."
"Berasnya dari mana? Kan kemarin ..."
"Ada aja!"
"Dari mana? Jangan-jangan ..." aku tak kuasa mengucapkannya. Aku takut adikku mendapatkan beras dari usaha yang tidak halal.
"Engga. Aku engga mencuri. Ini beras pemberian dari Mak Hawa kemari sore" kata Arbi sepertinya tahu apa yang aku maksud.
Aku mengangguk pelan, lalu kuambil dua ember besar yang biasa dipakai untuk tempat air.
"Teteh mengambil air dulu, yah." kataku sambil keluar dari dapur menuju ke sumur timba yang letaknya di belakang rumah. Waktu ku menimba, terdengar glapak-glupuk dari belakang rumah Bu Sulis. Eh, ternyata suara ayam habis disembelih. Aku baru ingat, bahwa besok akan ada perayaan ngatir.
Setelah makan nasi liwet, seperti biasa, aku melaksanakan tugas rutin, yaitu menjajakan arang. Dan tidak seperti biasanya, hari ini, Arbi memaksa ingin iku. Akupun mengijinkannya.
Dari kampung ke kampung, kami berjalan kaki dibawah terik matahari yang kian meninggi menawarkan setiap bungkus arang yang dijual seribu rupiah per bungkusnya.
Ketika melewati mesjid, kulihat jam menunjukan pukul 11.04. Alhamdulillah, daganganku dari dua puluh tujuh bungkus kini tinggal empat bungkus lagi.
"Teh, ini pasti berkat ngatir," celoteh Arbi.
"Berkat ngatir?"
"Iya, soalnya banyak warga yang membutuhkan arang untuk membakar bekakak ayam kan?"
"Ih, adikku pintar, deh!" pujiku.
***
Tak terasa waktu telah menunjukan pukul 12.20. Kami pulang dengan penuh kebahagiaan. Dagangan kami tak tersisa satu bungkuspun. Adikku tersenyum lebar.
Sesampainya di rumah, aku mengangkat jemuran yang sudah kering, kemudian ku lipat dan kutumpuk didalam bak pelastik.
"Teh, ..." panggil Arbi.
"Emh, ..." ucapku tanpa melirik ke arah Arbi.
"Boleh bertanya?"
"Iya, boleh," kataku sambil melipat pakaian, "Apa?"
"Eu, ... mengapa harus ada ngatir? Emang perlu gitu?"
"Ya perlu. Soalnya, kalau tidak ada ngatir, orang miskin seperti kita tidak akan pernah tahu rasanya daging ayam," sahutku sambil tertawa.
"Ih, Teteh. Menghina!" Arbipun tertawa, "Tapi, Teh, kok di tempatnya Irfan, di Bogor, tidak ada ngatir katanya?"
"Ya enggak ada. Yang ada ngatir itu hanya di kita, di Kecamatan Cipanas dan Kecamatan Lebakgedong."
"Kok engga ada?"
"Namanya juga tradisi, adat istiadat. Tiap daerah pastinya jugu berbeda."
"Oh, ada manpaatnya engga?"
"Ya pasti, dong!"
"Apa?"
"Ih, bawel! Teteh tidak tahu. Tanya aja sana sama orang tua, misalnya sama Ustadz Khairul."
"Betul, Teh, nanti sambil ngaji, ya."
"Iya!" aku mengangguk.
Matahari mulai condong ke upuk barat. Cahaya kekuning-kuningan menghiasi langit pertanda akan menginjak malam.
Adzan Magrib berkumandang. Anak-anak dan remaja yang akan mengikuti pengajian rutin setelah shalat Magrib mulai ramai, berlalu-lalang. Tempat pengajian Ustadz Khairul mulai dipenuhi anak-anak dan remaja.
Sehabis shalat Magrib, Ustadz Khairul naik mimbar, "Assalamu'allaikum warohmatuwlohi wabarokatu!"
"Wa'alaikumsalam," kata hadirin serempak.
"Anak-anak, pengajian hari ini, lain dari biasanya. Karena kita akan membahas tentang ngatir yang insya-Allah akan kita laksanakan besok."
"Asik, asik!" ucap anak-anak riuh.
"Anak-anak, ngatir itu tradisi, adat istiadat di kita, khususnya bagi warga Kecamatan Cipanas dan Lebakgedong. Tradisi ini sudah berlangsung puluhan tahun. Dan sampai sekarang masih dilaksanakan.
Kata ngatir itu berasal dari bahasa Arab, dari kata qothora yang artinya berbaris dan taqoothora yang artinya berkawan-kawan atau berbondong-bondong. Jadi, tujuannya untuk mempererat tali persaudaraan.
Sebagaimana kalian ketahui, ngatir itu dilaksanakan dua kali dalam setahun. Yaitu pada bulan Mulud, tujuannya untuk menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kedua, yaitu pada bulan Rewah, tujuannya untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan.
Ngatir itu perayaan saling mengundang , 'ngariung', berkumpul, berdo'a bersama-sama antara dua kampung atau lebih. Istilahnya 'nyorog' (mendatangi kampung lain). Tiap keluarga membawa 'bakul hancengan' (makanan yang biasanya berisi nasi, bekakak ayam, mie instan, dan telor). Bakul hancengan tersebut akan dibagikan untuk warga yang nyorog. Siangnya, kebalikanya, kampung yang tadi disorog, nyorog (mendatangi) kampung yang tadi pagi nyorog.
Selain tujuan yang tadi telah disebutkan, ngatir juga untuk mempererat tali silaturahmi, tali persaudaraan. Mengerti?"
"Mengerti..."
"Ada pertanyaan?"
"Pa Ustadz, apalagi manpaat ngatir selain yang tadi Ustadz sebutkan? Terus pelaksanaannya ...?" kata Arbi bertanyanya tidak sampai selesai karena disoraki oleh anak-nak yang lain.
"Huuuh ...."
"Sudah, dengarkan.Ngatir itu sarana untuk mempererat silaturahmi, tali persaudaraan, juga sebagai sarana sodaqoh. Paham?" Ustadz Khairul berhenti dulu sejenak, "Langkah-langkahnya pertama, mengundang kampung sebelah. Kedua, berkumpul atau ngariung berdoa bersama yang dipimpin oleh seorang kiyai, ustadz, sesepuh kampung, atau siapa saja yang dituakan. Kemudian yang ketiga, yaitu yang ditunggu-tunggu; pembagian bakul hancengan. Biasanya satu bakul hancengan untuk satu kelompok yang anggotanya berjumlah tujuh orang atau lebih, Jelas? Kiranya pengajian hari ini cukup sekian. Kalau ada yang kurang jelas, nanti kita bahas lagi. Sekarang bersiaplah untuk melaksanakan shalat Isa berjamaah. Assalamualaikum wr. wb," ucap Ustadz Khairul kemudian turun dari mimbar menuju barisan sajadah yang terbentang paling depan.
Beres shalat Isa, Arbi tidak cepat pulang, masih tetap duduk di tempatnya.
"Bi, ayo kita pulang!" ajakku.
"Entar, Teh, ada yang ingin ditanyakan lagi sama Pa Ustadz."
"Nanya apa lagi, Bi?" Ustadz Khairul sudah berdiri di samping Arbi.
"Apakah setiap keluarga wajib membawa bakul hancengan? Bagai mana kalau yang tidak mampu, seperti Arbi," Arbi menunduk.
"Jawabnya sambil pulang, yu!" ajak Ustadz Khairul sambil menggandeng Arbi, "Tidak. Tidak diwajibkan. Namanya sodaqoh, ya untuk yang mampu," Ustazd Khairul tersenum sambil menepuk pundak Arbi. "Mengerti?"
"Iya, Pak Ustadz." Arbipun tersenyum juga.
***
Matahari terasa hangat. Udara sejuk. Angin yang bertiup lumayan kencang menggoyangkan gubuk tempat tinggal kami yang reot. Burung bersahut-sahutan di atas pohon kedengarannya sangat merdu.
"Hore ... hore! Hari ini makan daging ayam. Teh, kita akan makan daging ayam." Teriak Arbi sambil meloncat-loncat kegirangan. "Daging ayam ...daging ayam ... ngatir, ngatir! Hore!"
"Hus! Jangan berteriak-teriak, malu! Ayo makan dulu seadanya."
"Arbi mau daging ayam, Teh. Kan kita akan ngatir."
"Iya, tapi itu nanti. Jadi, makan dulu, untuk mengganjal perut."
"Iya."
Setelah selesai makan, Arbi membantuku beres-beres di rumah. Jalanan masih kelihatan sepi.
"Teh, tidak jualan hari ini?"
"Tidak. Hari ini, Teteh ingin menemani kamu dan ibu di rumah."
"Nanti kita makan dari mana?"
"Kan hari ini ada ngatir?"
Tidak lama kemudian, orang-orang dari kampung sebrang mulai berkumpul dan bergerombol memenuhi mesjid. Ramai sekali. Arbi segera mengajakku untuk melihatnya. Pas di depan kebun Pak Hata, yang bersebrangan dengan mesjid yang dipakai ngatir, kami berhenti."
"Andai Bapak masih ada, pasti aku ada di antara mereka," kata Arbi lirih, matanya berkaca-kaca.
"Iya, ..." Air mata tak terasa meleleh dipipiku. Terbayang Bapak yang telah tiada dan Emak yang sekarang tidak bisa bicara sejak terserang stroke dua tahun yang lalu. "Bi, mengapa kamu menantikan sekali perayaan ngatir?"
"Karena akan makan daging ayam. Apalagi Arbi, yang hanya dua kali dalam setahun merasakan nikmatnya daging ayam."
Aku terdiam. Aku ikut senang melihat adiku gembira.
Orang-orang yang tadi berduyun-duyun, kini sedikit demi sedikit menginggalkan mesjid secara berkelompok, sambil memikul bakul hancengan.
"Wulan, ... Arbi, kalian sudah lama menunggu?" kami tidak sadar ternyata Pak RT yang ditunggu-tunggu sudah ada di hadapan kami.
"Eh, ... Pak RT. Be ..."
"Bohong Pak RT, sudah dari tadi menunggu," Arbi memotong pembicaraanku.
"Maafkan Bapak, sudah membuat kalian menunggu," ujar Pak RT.
Arbi menggelengkan kepala.
"Ngatir kali ini, ramai sekali, seperti yang Neng Wulan dan Arbi lihat sendiri. Jadi, ..."
"Jadi kami ngagak kebagian?" sergah Arbi suaranya bergetar.
Jantungku berdenyut kencang. Terbayang bagai mana kecewanya Arbi bila ngatir kali ini, yang ditunggu-tunggunya, tidak kebagian. Tanganku reflek memeluknya.
"Set ...jangan memotong pembicaraan dulu. Khusus untuk anak-anak yang baik, Bapak menyimpan di rumah."
"Hore!" Arbi loncat kegirangan.
Kamipun pulang dengan menjingjing kantung pelastik yang berisi nasi, bekakak, telor dan mie instan.
Arbi tersenyum lebar. Bahkan waktu makanpun ia masih sempat tertawa. Sampai-sampai makanan yang masuk kemulutnya, tersendat ditenggorokan. Akhirnya, makanan yang sudah masuk ke dalam perutpun harus keluar lagi.
"Makanya, kalau makan jangan ngomong apalagi tertawa!"
Arbi tidak menjawab, hanya diam, dan mukanya kelihatan merah.***
Cipanas, Mei 2009
Salam Manis Buat Neng NUNU kapan kita ketemu, tahun 90 saya pernah bertetangga dengan pak haji Cece rama neng.
ReplyDeleteHobirudin ZA
Bandung