Bahasa dan Sastra
Kebanyakan orang memang suka keliru menyangkut dua hal ini. Kalau sudah berstatus mahasiswa, maupun lulusan, dari Departemen Sastra Indonesia, dianggap sudah mengetahui masalah kesusastraan. Kadang-kadang juga dianggap sebagai kamus berjalan sehingga kalau berhadapan dengan kosakata tertentu, para mahasiswa dan lulusan Sastra Indonesia ini dijadikan tempat bertanya. Parahnya, tidak jarang mereka yang bertanya itu akan melecehkan (entah itu serius maupun sekadar guyon) dengan berkata, “Percuma mahasiswa/lulusan Sastra Indonesia, masa begitu saja nggak tahu.”
Sebenarnya, pada Departemen Sastra Indonesia (dulu disebut Jurusan Sastra Indonesia, setidaknya sampai sebelum saya menulis skripsi) ada dua pembidangan. Bidang pertama itu bidang bahasa atau yang lazim disebut linguistik. Lalu bidang kedua ialah sastra.
Baik mahasiswa sastra, maupun linguistik akan diwajibkan mengikuti kuliah-kuliah dasar bidang masing-masing. Mahasiswa sastra akan belajar Pengantar Linguistik Umum, Fonologi. Morfologi, Sintaksis, Semantik, Pragmatik, dan kuliah-kuliah linguistik lainnya. Lalu mahasiswa bidang linguistik juga harus belajar Pengantar Kajian Sastra, Telaah Puisi, Telaah Prosa, Telaah Drama, Kritik Sastra, dan beberapa kuliah sastra lain. Tujuannya agar masing-masing mahasiswa, meskipun berfokus pada salah satu bidang, tetap memiliki bekal dasar untuk mencermati fenomena sastra maupun linguistik.
Namun, terkadang mahasiswa/lulusan bidang sastra harus memiliki kompleksitas wawasan ilmu di bidang linguistik pula. Tujuannya, bila ia ingin melakukan kritik sastra, bekal ilmu linguistik sering kali menolong dalam memahami pesan yang disampaikan dalam suatu karya sastra. Atau bila ia memang ingin membuat karya sastra tertentu, pemahaman bidang linguistik yang baik akan menolongnya menciptakan karya yang kuat karena mengenal karakter fonem tertentu, misalnya.
Bahasa bagi Muda-Mudi
Kembali pada sikap para pelajar, laporan yang diberikan para siswa SMAN 11 Jakarta itu menunjukkan bahwa 60 dari 100 yang ditanyai, mengaku mengetahui kalau Oktober merupakan bulan bahasa. Tapi hanya 36 yang mengatakan kalau bulan bahasa itu harus atau perlu dirayakan. Dan dari pertanyaan lanjutan, responden menyebut memilih merayakan bulan bahasa itu dengan menggelar pentas seni.
Hasil liputan sederhana itu ditutup dengan simpulan bahwa perayaan bulan bahasa di beberapa SMA di Jakarta mulai surut. Perayaan baik dalam hal bahasa maupun sastra dianggap perlu guna menanamkan kesadaran pentingnya meningkatkan kualitas berpikir dan menghargai bahasa sendiri.
Sesungguhnya, niat tersebut bukan niat yang buruk. Namun, tidak ada gunanya juga kalau hanya sampai sebatas niat. Fakta menunjukkan kalau kalangan muda lebih banyak mengembangkan bahasa gaul ketimbang memerhatikan bahasa yang baik. Saya tidak mengatakan bahasa yang baik dan benar karena banyak orang yang cenderung menganggap bahasa demikian sebagai bahasa resmi, padahal tidak demikian. Memang tidak terlalu salah juga bila berkomunikasi dengan bahasa gaul. Hanya saja, ketika bahasa hanya sebatas menyampaikan pesan belaka, kualitas berbahasa yang baik tidak bakal tercapai.
Bulan bahasa sebenarnya bisa dijadikan momentum untuk meningkatkan kualitas berbahasa secara baik (dan kalau bisa benar juga). Tapi jangan pula hanya sekadar pada bulan tersebut saja. Karena berbahasa merupakan proses yang harus dibiasakan. Semakin terbiasa untuk berbahasa dengan baik, semakin menolong kita untuk terus meningkatkan kualitas berbahasa.
Sastranya Bagaimana?
Karena bulan Oktober juga tidak sekadar menjadi bulan bahasa, tapi juga sastra, kita pun sebaiknya perlu belajar untuk memberi porsi yang cukup pada bidang sastra. Masalahnya, untuk bidang ini pun kita masih ketinggalan dari negara-negara lainnya. Para siswa sekolahan perlu mengenal lebih banyak karya sastra, tidak hanya untuk melengkapi kegiatan belajar bidang studi bahasa dan sastra Indonesia saja, tetapi juga untuk menggali kekayaan moral dan intelektual yang dituangkan dalam setiap karya sastra.
Saya memang kurang menguasai bidang sastra karena terlalu berfokus pada bidang linguistik. Namun, saya sangat bersyukur karena belakangan diingatkan bahwa membaca karya sastra, khususnya novel, itu sangat nikmat. Apalagi ketika menelusuri penuturan yang disampaikan dengan bahasa yang indah. Memang harus diakui kalau ada karya yang membingungkan. Contohnya saja Wasripin dan Satinah karya Kuntowijoyo (Kompas 2003) sebagai salah satu yang memusingkan saya. Tapi ada banyak pula yang sangat menyenangkan untuk dibaca dan tidak membuat kening berkerut plus disampaikan dengan bahasa yang indah, seperti Bunga karya Korrie Layun Rampan (Grasindo 2002), Sang Guru oleh Gerson Poyk (Grasindo 1993), atau Hari Esok Masih Panjang karya M. S. Noerna Sidharta (Grasindo 2002).
Sementara itu, puisi juga menghadirkan beragam nuansa yang tak kalah menarik. Sama seperti ketika mulai menikmati novel, kalau Anda tahu kenikmatannya, dijamin Anda akan menggandrungi berbagai jenis puisi, meski mungkin akan terheran-heran karena melihat puisi-puisi aneh, seperti karya Sutardji Calzoun Bachri atau Saut Situmorang.
Nah, para pemuda, sudah siap melangkah lebih jauh dari tidak peduli menjadi peduli? Atau dari sekadar berniat menelusuri sampai menggandrungi berbahasa yang baik dan menikmati sastra? Ingatlah, bahasa dan sastra Indonesia itu merupakan hartamu juga. Jangan sampai diklaim oleh negara lain. Nggak lucu ‘kan?
Post a Comment
Komentar Anda Sangat Berguna